Rahina Mangkin

Minggu, 01 Januari 2012

Sepotong Perjalanan Menggapai Jakarta


           
Kadang-kadang waktu yang meletup panas membuat seiris hati melepuh, padahal Widya perlu istirahat dalam kebisinga deru hiruk pikuk melintasi jalan. Hatinya sangat gelisah, ketakutan dan kehawatiran akan kesehatan dirinya semakin menjadi-jadi. Sekujur tubuhnya Widya panas kadang-kadang dingin, kepalanya terasa berat, perutnyapun mual dan peluh dingin tak henti-hentinya membasahi telapak kaki dan dahinya. Tapi  dengan upaya, usaha, doa, dan motifasi spiritual Widya menjadi lebih manyadari akan sebuah tanggung jawab  bagaimana, mangapa, siapa dan dimana dirinya.
Hamparan hijau Gunung Tangkuban Perahu telah melambaikan senyum keramahan ….Mayangsari, dan  menyambut kehadiran kami untuk menyaksikan keunikan dan keagunganya. Akhirnya rombonganpun sampai.
Entah dari mana datangnya rasa gembira ketika melihat Widya dengan beraninya duduk diatas pelana memegang tali kendali, menjadi penunggang kuda terseok-seok berjalan pelan dan berlari-lari kecil melintasi dan menghintai tepian kepundan Tangkuban Perahu miliknya  Sangkuriang. Keasikanya membuat ia lupa dengan sengatan bau belerang.
“Dik Prima….. lihat itu, dia hebat, dia berani, dia bisa…..”
Kami berdua sempat terkejut dan spontan memberi semangat dan tepuk tangan,
“Hore….. Joki… ia…Joki…,!!”
 Widya tampak tersenyum girang, diwajahnya sudah mulai ada rasa bangga, senang dan riang, raut mukanya cerah padahal waktu itu hujan gerimis sedikit mengusiknya.
Beberapa menit kemudian, kami harus meluncur dengan armada kecil kebawah. Rasa senang kami semakin bertambah karena Widya dengan tak terduga mengajak kita untuk makan siang bersama di sebuah warung di pinggiran stanplat,  dia menunjuk warung di sebelah selatan. Dengan tanpa menunda waktu lagi, dan memang seperti itulah harapan kita, hanya mau makan sesuap nasi saja merupakan suatu keberhasilan dari sekian ratus bujukan untuknya. Bayangkan Widya dua hari dua malam sudah puasa, belum lagi tidurnya pun selalu terusik.
Apapun yang menjadi doa dan harapan Widya yang telah menggema kuat menjadi ceksound dengan tekad  “aku harus bisa”, sekarang sudah semakin terang membawa pertanda bahwa Widya sudah bisa mengatasi problem dirinya.
Saat pucuk-pucuk daun teh kembali bersemi muda setelah dipanen, ia memerah warna di ujung harapan. Buliran air surga sekarang telah ia teguk dengan kepasraan dan doa.
Kamipun bangga dan bahagia dan berarti pertualangan diri Widya sudah sampai dipuncak harapan yang pernah pekat memenuhi benaknya..
Sekarang hanya menatap di semua lembah apakah burung-burung bangau akan mengakhiri pertualanganya juga.
“Nak Widya …, kita harus mampu menerima segala bentuk cobaan untuk membuat kita semakin sadar akan makna dari kehidupan. Serta mampu bersyukur untuk menjadikan diri kita sehat dan bahagia.”
Dalam perjalanan menuju Jakarta Widya sms ,   “Pak…. sekarang sudah saatnya aku pindah kehabitatku untuk dapat aku berkelakar dengan teman-teman disana, biar aku dapat menghirup udara yang lebih nyaman dan bersahabat di busku  semula.”
“Ya anakku….Selamat .nak…., engkau bagai layang-layang terbang diudara yang telah mampu menantang tiupan angin kencang sambil meliuk-liukkan ekormu yang indah mempesona dipandang mata.”
Widya:  “Pak kemarin sepertinya aku  merasa tersesat ditengah hutan belantara dan tak mampu menentukan kemana datangnya arah matahari ,saat itu aku merasa gagal.”
“Widya sadarilah disetiap kekecewaan Tuhan akan memberi kita pengharapan.”
Widya: “ Pak….. berarti aku pernah hanyut dan tenggelam terhempas arus deras kekecewaan  tapi dengan perjuangan dan doa serta dengan pengorbanan waktu, tenanga, pikiran dan perhatianmu, aku akhirnya  mampu menggapai pohon bakao walau pernah tersangkut diakarnya yang serabut.”
“Ya nak Widya, bersyukurlah kamu pada Tuhan, ,kini aku bekali kamu lembaran baru untuk melukis pelangi yang paling indah dalam hidupmu dihamparan langit biru yang jauh disana “
Widya: “ Ya pak, Berikan aku sekarang sayap untuk terbang tinggi dengan tujuh macam warna ditanganku, akan ku lukis warna-warni kehidupanku untuk ku persembahkan kepada orang tuaku bukan sepotong tongkat penopang ketika aku jatuh.di kubangan”.
“Itu pasti nak Widya, sekarang kamu menang, kamu luar biasa, jangan sekali kamu mengeluh sementara kamu belum pernah mencoba.”
Widya:  “Pak, dari kejauhan mohon genggamlah tangan ku erat, ajari aku berjalan lebih cepat lagi dan lepaskan genggamanmu.Percaya aku pasti lebih bisa “.”Hanya segenggam terimakasih yang dapat kuberikan padamu. Kau telah membimbing dan memberiku petunjuk yang sangat berguna dalam menggapai warna-warni kehidupan ini. Mulialah pengorbananmu.. ….. da…… “



Tidak ada komentar:

Posting Komentar