Rahina Mangkin

Kamis, 26 Januari 2012

Puisi Bali

Rindu
tunangan sane sayangan             
 yapin majehona             
  rasa rindu ngantosan
satata padaduan nyalanan tresna
rasa demen lan sebet
satata kalaksanayang ajak dadua
tusing lakar nyidang tiang tanpa beli.
tusing lakar nyidang beli tanpa adi
sakancan tresna sane karasayang
 tusing nyidang yen raga padidi
dumogi satia ring sakancan janji 
dumogi ten lempas teken janji iraga ajak dadua
diolas do taen nyakitin
makancan suba taen rasayang
akeh sengsaya
uliang rerama
nika makejang anggen sesuluh
apang tresnane satata ajeg
tresna tiang ken beli ten lempas teken galah
dumogi satata satia

Suara Hati Anak Pantai Bali


Wakil rakyat yang saya hormati..
Jangan salahkan turis pakai bikini..
Mereka mencari kehangatan matahari..
Di pantai kebanggaan negeri ini..
Untuk itu tolonglah Bali dipahami..
Tak mungkin berjemur pakai dasi..
Wakil rakyat yang saya hormati..
Mulailah engkau introspeksi diri..
Kelak kau temukan kebenaran sejati..
Jangan banyak teori..
Apalagi merasa suci..
Engkau sendiri berpoligami..
Kami anak pantai Bali..
Terbiasa dengan pemandangan begini..
Biarpun rambut warna-warni..
Kami masih punya nurani..
Tak pernah ada syahwat menari..
Wakil rakyat yang saya hormati..
Silahkan engkau datang kemari..
Nikmati alam anugerah ilahi..
Kami sambut dengan suka hati..
Surfing pun akan kami ajari..
Meluncur di atas ombak tinggi..
Akan tetapi..
Janganlah engkau pelototi..
Kalau ada bodi-bodi seksi..
Apalagi sampai birahi..
Wakil rakyat yang saya hormati..
Mereka jangan dicaci maki..
Apalagi dituduh pornografi..
Semua itu keindahan tubuh yang alami..
Dari negeri Sakura sampai Chili..
Semuanya ada disini..
Mereka tidak mencari sensasi..
Tapi menghilangkan kepenatan sehari-hari..
Jangan fanatik budaya luar negri..
Ingatlah budaya Indonesia asli..
Sensual tapi penuh arti..
Jika kau paksa terapkan di Bali..
Semua itu akan jadi basi..
Wakil rakyat yang saya hormati..
Jika engkau sudah datang kemari..
Satu hal yang saya peringati..
Meski ada turis cantik sekali..
Janganlah kau jadikan istri..
Karena istrimu sudah banyak sekali..‎​

Minggu, 01 Januari 2012

Misteri Serpihan Kecil Di Tugu MONAS


          Dengan kejengkelan Tiwi yang telah tersimpan sejak beberapa waktu yang lalu, rasanya telah menjadi benjolan-benjolan  perasaan yang sangat menyakitkan  tubuh Tiwi , suatu saat benjolan itu akan meledak untuk melenyapkan semua impian dari seseorang yang ingin mereka tarikan sepanjang jalan, yang Tiwi  sama sekali  tidak mengerti apa tema pertunjukan yang mungkin mereka akan tampilkan.
Begitu  Tiwi bangun  dari tidur dengan keletihan 6 hari  diperjalanan saat Tiwi ikut tirtayatra ke Gunung Salak, tak terkendali lagi gejolak jiwa yang telah terbakar oleh kekesalan, menjadikan Tiwi seperti kesurupan dan menangis meraung raung . 
Isak tangis Tiwi tak tertahankan, meluapkan gejolak emosi yang tidak dapat dibendung lagi. Kemarahan Tiwi sudah menjadi kebencian yang tak terampuni dan kebencian Tiwi malah meruak angkasa seolah-olah telah tumbuh menjadi dendam yang  menggeledek  dan tak mampu untuk dimaafkan.
 “Tiwi anakku……. Apa yang terjadi, apa masalahmu, hendaknya kamu harus beristirahat lebih panjang dulu agar tubuhmu menjadi segar”, Ibu datang mendesak Tiwi.
Pertanyaan ibu sebenarnya pantang untuk Tiwi jawab karena sesuatu yang sungguh prinsip dan pribadi harus Tiwi selesaikan sendiri.
          Tapi segenap emosi yang Tiwi gumankan bersama isak tangis yang penuh kebencian itu, ibu Tiwi yang sedikit cerdas mengerti apa sebenarnya yang terjadi dalam diri Tiwi. Secara perlahan ibu mulai mendekat dan memegang kepala Tiwi dan mengelus-elus rambut Tiwi yang sedang berantakan. Tiwi adalah satu-satunya anak tempat ibu membagi kasih  ,ia sangat sayang sama Tiwi,…… sayaaaang sekali.
 “ Nak, sampaikanlah pada ibu apa sih yang sebenarnya terjadi, kesusahanmu adalah kesusahan ibu dan tetap akan menjadi beban kita  kalau kamu tak menyatakanya”.
          Beberapa menit dalam diam Tiwi, bersama dengan pertanyaan ibu yang berulang-ulang, pikiran Tiwi sempat terlena melintas dalam hayal dengan seikat kenangan pahit di  Tugu Monas. Kenangan itu  membuat perasaan Tiwi semakin kalut karena terselimuti kebencian yang amat sangat bahkan  menjadi prahara yang terus berseteru dalam hati .
Tugu Monas yang menjulang tinggi tampak  perkasa, berdiri megah sebagai icon  kota Jakarta, sebagai simbol keagungan Indonesia, menjadi  sumber inspirasi yang menggugah setiap pengunjungnya, begitu dikagumi, tapi bagi Tiwi  semuanya itu hambar  tak ada pujian di hati Tiwi untuknya karena  pikiran Tiwi terkontaminasi  oleh  kejengkelan dan kemarahan Tiwi pada seseorang .
Tugu Monas dengan ketinggian 132 m, dipelataran puncaknya dapat terlihat panorama   kota Metropolitan Jakarta dengan segenap gedung pencakar langit begitu indah,  mereka  pada semua mengaguminya  tapi dalam pikiran Tiwi sama sekali tidak ada kesan mempesona seperti itu, malah  kebencian Tiwi   makin terpuruk pada seseorang .
Diorama  sejarah Indonesia yang terletak dikaki monument yang  dipandang sumber renungan sangat menggugah hati pengunjung, yang dapat membangkitkan patriotisme  generasi bangsa, Bagi Tiwi sedikitpun  tak tertarik akan keistimewaannya  malahan  Tiwi  semakin merasakan kekecewaan dan penyesalan yang amat sangat  pada seseorang,
          Dengan  isak sedu sedan …Tiwi menjawab pertanyaan ibu .
 “Bu……. Tiwi jengkel,…..  Tiwi kecewa, …..Tiwi sakit hati.  …… hanya ibu yang tahu pasti bagaimana keperibadian Tiwi, …. Tiwi tak senang akan pujian itu ,Bu,…    pujian dan pujian segala… Pujian bagi Tiwi sangat melemahkan  jiwa Tiwi , Tiwi tak perlu perhatian…. perhatian dan…. perhatian yang sangat….. perhatian. Tiwi jengkel.Perhatian yang  berkelebihan itu menyebabkan Tiwi merasa malu, malu dengan ejekan teman  walau mereka hanya berkelakar , sudah cukup rasanya Tiwi untuk diperhatikan,biar ditutup lembaran itu .Bagi Tiwi  ibu harus  maklum dan paham ,disana ada tanggung jawab moral yang sangat sensitif bagi mereka yang tidak mengerti dengan sebuah perhatian. Kadang-kadang mengundang suatu pertanyaan yang menyebabkan mereka berinterpretasi negative”.
Betul juga anakku…… tapi betapa pentingnya sebuah perhatian kan nak? Perhatian menunjukkan kedekatan hati, kedekatan itu adalah wahana untuk menyatakan curahan hati ,itu sangat penting dalam sebuah persahabatan ,saat itu kamu sakit kan ?.,kondisimu melemah ,? kamu menjadi bersemangat kembali karena motifasinya,?                                                                                             Sahabat sejati adalah mereka yang tahu tentang lagu kesukaanmu dan dapat mereka nyanyikan ketika kamu lupa akan syair-syairnya ,  Kamu seharusnya bersyukur kepada Tuhan karena dengan rakhmatNya  kamu memperoleh seseorang yang  dapat memperhatikan kamu.”
Tapi bu……….. ,”
Ibu menyela ….,”Ya nak Tiwi, kadang-kadang kita terlalu negatif memikirkan suatu masalah yang belum pasti betul kita ketahui, kapan seseorang selalu berpikir seperti itu, pasti tidak akan bahagia. Kemarahan, kebencian, dan dendam bukan singasananya kebahagiaan. Dibalik lembaran negatif yang kamu pikirkan masih ada misteri  yang tersembunyi yang membuat kita akan tersenyum. Tiwi anaku……kamu harus tenang dan sabar mengadapi masalah ini karena di dalam ketenangan dan kesabaran kamu akan dapat meneguk air suci kasih , kasih itu adalah Tuhan .Tuhan adalah kebahagiaan yang kita pinta. Memasrahkan diri kepada Tuhan dengan ketidak berdayaan kita Tuhan Maha Terpuji akan menolongmu.”
Kelembutan usapan tangan ibu pada buliran-buliran air mata yang akan mengering dipipi Tiwi  membuat Tiwi menjadi  tersanjung. 
Nak………” Ibu meneruskan ucapannya ,………” Kemarin lusa ada seorang pemuda  datang kerumah ini menemui ibu  dengan membawa sebungkus coklat kesukaanmu, ia menanyakan kamu dan ia bilang, Tiwi pasti aman dan damai di perjalanan tournya bu”.
 “Kok kamu tau nak,?” Ibu meneruskan.
Ya  bu , kemarin   mengawali perjalanan wisatanya Tiwi ,aku telah titip pesan kepada seorang teman agar ia memperhatikan Tiwi secara khusus dan menjaga kesehatan Tiwi, karena saya tahu Tiwi kondisi fisiknya sering kurang sehat. Saya ini pacar Tiwi  bu, perkenalkan bu ……..,”
          “O ya bu…,”Tiwi akhirnya menghela nafas panjang  .
Bu…Tiwi terlalu tergesa gesa membuat keputusan, untuk memponis seseorang .”
Ya  nak  inilah sebuah pembelajaran buat kita, pelajaran yang paling berharga. Hari sudah menjelang malam, nak Tiwi harus mandi”, seru kasih ibu pada Tiwi.

          A ir shower yang megguyur seluruh tubuh Tiwi membuat hati Tiwi  damai dan bahagia seperti bahagianya hati teman- teman ketika berada  dipuncak  menara Monas. Angin spoi-spoi dipelataran puncak Monas sekarang sejuk bersilir seindah hati sahabat yang mau memaafkan Tiwi. Serpihan kecil di Tugu Monas adalah ajimat sakti  yang dapat mempertajam kesadaran Tiwi dan  bukan misteri lagi . “Ya Tuhan, ini kupersembahkan setitik air mata kebahagiaan ku dikaki padmaMu Yang Agung  , Kupasrahkan jiwa raga yang tak berdaya ini”.
         

Sepotong Perjalanan Menggapai Jakarta


           
Kadang-kadang waktu yang meletup panas membuat seiris hati melepuh, padahal Widya perlu istirahat dalam kebisinga deru hiruk pikuk melintasi jalan. Hatinya sangat gelisah, ketakutan dan kehawatiran akan kesehatan dirinya semakin menjadi-jadi. Sekujur tubuhnya Widya panas kadang-kadang dingin, kepalanya terasa berat, perutnyapun mual dan peluh dingin tak henti-hentinya membasahi telapak kaki dan dahinya. Tapi  dengan upaya, usaha, doa, dan motifasi spiritual Widya menjadi lebih manyadari akan sebuah tanggung jawab  bagaimana, mangapa, siapa dan dimana dirinya.
Hamparan hijau Gunung Tangkuban Perahu telah melambaikan senyum keramahan ….Mayangsari, dan  menyambut kehadiran kami untuk menyaksikan keunikan dan keagunganya. Akhirnya rombonganpun sampai.
Entah dari mana datangnya rasa gembira ketika melihat Widya dengan beraninya duduk diatas pelana memegang tali kendali, menjadi penunggang kuda terseok-seok berjalan pelan dan berlari-lari kecil melintasi dan menghintai tepian kepundan Tangkuban Perahu miliknya  Sangkuriang. Keasikanya membuat ia lupa dengan sengatan bau belerang.
“Dik Prima….. lihat itu, dia hebat, dia berani, dia bisa…..”
Kami berdua sempat terkejut dan spontan memberi semangat dan tepuk tangan,
“Hore….. Joki… ia…Joki…,!!”
 Widya tampak tersenyum girang, diwajahnya sudah mulai ada rasa bangga, senang dan riang, raut mukanya cerah padahal waktu itu hujan gerimis sedikit mengusiknya.
Beberapa menit kemudian, kami harus meluncur dengan armada kecil kebawah. Rasa senang kami semakin bertambah karena Widya dengan tak terduga mengajak kita untuk makan siang bersama di sebuah warung di pinggiran stanplat,  dia menunjuk warung di sebelah selatan. Dengan tanpa menunda waktu lagi, dan memang seperti itulah harapan kita, hanya mau makan sesuap nasi saja merupakan suatu keberhasilan dari sekian ratus bujukan untuknya. Bayangkan Widya dua hari dua malam sudah puasa, belum lagi tidurnya pun selalu terusik.
Apapun yang menjadi doa dan harapan Widya yang telah menggema kuat menjadi ceksound dengan tekad  “aku harus bisa”, sekarang sudah semakin terang membawa pertanda bahwa Widya sudah bisa mengatasi problem dirinya.
Saat pucuk-pucuk daun teh kembali bersemi muda setelah dipanen, ia memerah warna di ujung harapan. Buliran air surga sekarang telah ia teguk dengan kepasraan dan doa.
Kamipun bangga dan bahagia dan berarti pertualangan diri Widya sudah sampai dipuncak harapan yang pernah pekat memenuhi benaknya..
Sekarang hanya menatap di semua lembah apakah burung-burung bangau akan mengakhiri pertualanganya juga.
“Nak Widya …, kita harus mampu menerima segala bentuk cobaan untuk membuat kita semakin sadar akan makna dari kehidupan. Serta mampu bersyukur untuk menjadikan diri kita sehat dan bahagia.”
Dalam perjalanan menuju Jakarta Widya sms ,   “Pak…. sekarang sudah saatnya aku pindah kehabitatku untuk dapat aku berkelakar dengan teman-teman disana, biar aku dapat menghirup udara yang lebih nyaman dan bersahabat di busku  semula.”
“Ya anakku….Selamat .nak…., engkau bagai layang-layang terbang diudara yang telah mampu menantang tiupan angin kencang sambil meliuk-liukkan ekormu yang indah mempesona dipandang mata.”
Widya:  “Pak kemarin sepertinya aku  merasa tersesat ditengah hutan belantara dan tak mampu menentukan kemana datangnya arah matahari ,saat itu aku merasa gagal.”
“Widya sadarilah disetiap kekecewaan Tuhan akan memberi kita pengharapan.”
Widya: “ Pak….. berarti aku pernah hanyut dan tenggelam terhempas arus deras kekecewaan  tapi dengan perjuangan dan doa serta dengan pengorbanan waktu, tenanga, pikiran dan perhatianmu, aku akhirnya  mampu menggapai pohon bakao walau pernah tersangkut diakarnya yang serabut.”
“Ya nak Widya, bersyukurlah kamu pada Tuhan, ,kini aku bekali kamu lembaran baru untuk melukis pelangi yang paling indah dalam hidupmu dihamparan langit biru yang jauh disana “
Widya: “ Ya pak, Berikan aku sekarang sayap untuk terbang tinggi dengan tujuh macam warna ditanganku, akan ku lukis warna-warni kehidupanku untuk ku persembahkan kepada orang tuaku bukan sepotong tongkat penopang ketika aku jatuh.di kubangan”.
“Itu pasti nak Widya, sekarang kamu menang, kamu luar biasa, jangan sekali kamu mengeluh sementara kamu belum pernah mencoba.”
Widya:  “Pak, dari kejauhan mohon genggamlah tangan ku erat, ajari aku berjalan lebih cepat lagi dan lepaskan genggamanmu.Percaya aku pasti lebih bisa “.”Hanya segenggam terimakasih yang dapat kuberikan padamu. Kau telah membimbing dan memberiku petunjuk yang sangat berguna dalam menggapai warna-warni kehidupan ini. Mulialah pengorbananmu.. ….. da…… “



Jumat, 23 Desember 2011

Gebug Ende

Cukup menarik untuk ditelusuri asal-muasal munculnya permainan gebug ende itu. Klian Desa Pakraman Seraya I Made Putu Suarsa mengatakan, kemunculan permainan gebug ende itu diperkirakan merupakan bentuk pelestarian dari latihan perang-perangan prajurit Kerajaan Karangasem zaman dulu. Sampai kini, latihan bertarung itu masih dijadikan semacam peringatan, sehingga tetap lestari.
Pada zaman dulu, kata Suarsa, sebenarnya latihan perang prajurit kerajaan menggunakan senjata tajam, seperti pedang, tombak atau keris. Kini sebagai simbol senjata tajam itu dipergunakan tongkat rotan.
Pada zaman kerajaan, masyarakat Desa Seraya merupakan salah satu kanti (prajurit andalan) kerajaan. Prajurit inti dikenal berasal dari Seraya, yang berjumlah 40 (bala petangdasa). Selain masyarakat Seraya dijadikan salah satu kanti Kerajaan Karangasem, juga dari Bugbug dan Angantelu. ”Orang Desa Seraya dikenal karena kebal sajam, Bugbug karena ahli pengobatan, sementara Angantelu karena sifat pemberaninya. Barangkali, masyarakat di ketiga desa tua itu zaman dulu diberikan anugerah dengan kelebihan untuk mengemban tugas masing-masing,” ujar Suarsa.
Suarsa mengatakan, berdasarkan cerita secara turun-temurun yang diterimanya, tes pemilihan calon prajurit kerajaan itu digelar pada saat sangkepan (rapat) desa. Saat itu warga lelaki dewasa sejak dari rumah menuju tempat sangkep, masing-masing telah menjepit duri pandan di kedua ketiak. Begitu mendekati tempat sangkepan, petugas jaga bakal menarikan daun pandan dari ketiak calon peserta sangkepan. Kalau daun pandan lepas ditarik dan tubuh penjepit tak luka ditusuk duri, berarti mereka lolos seleksi dan bisa ikut sangkepan. Dari sangkep itulah dites lagi untuk memilih 40 prajurit inti kerajaan. ”Tempat melakukan tes kekebalan calon prajurit kerajaan dengan sebuah palinggih-nya, kini masih ada di Desa Seraya,” tutur Suarsa.
Saat sangkepan, katanya menceritakan cerita leluhurnya, krama membelah buah pinang untuk makan sirih (macanangan, bahasa Bali) dengan pedang, belakas atau tah, bukan di atas bantalan kayu (talenan). Namun, langsung di atas paha. ”Cetar…., pinang pun terbelah dengan salah satu senjata tajam itu. Tetapi paha tak luka,” ujar Suarsa memperagakan dengan tangannya.
Sajam yang digunakan untuk berperang pada zaman dulu pun, lanjutnya, mesti dites dulu. Kalau ditancapkan ke bebatuan tak tumpul atau kalau ditusukkan ke gedek — dulu dinding rumah cuma terbuat dari gedek berbahan potongan bambu — dan segala binatang yang ada tengah berada di dinding gedek, seperti tikus, cecak atau kalajengking gedek itu mati, barulah sajam itu lolos seleksi untuk dibawa berperang.
Dia mengatakan, sampai kini beberapa keturunan prajurit 40 masih ada yang memiliki warisan kebal sajam secara turun-temurun. Namun, katanya, kalau warga Seraya menginginkan bantuan agar dilindungi dari goresan sajam saat menghadapi bahaya, juga bisa dengan mengikuti tata cara tertentu, seperti yang diwariskan leluhur. ”Cukup dengan konsentrasi dengan doa guna mohon bantuan Batara yang kalinggihang dan dipuja di Seraya, doa bakal terkabul. Memang saat kami menghadapi ancaman, kami sepakat membangkitkan warisan leluhur itu, agar jangan sampai punah tertelan modernisasi,” katanya.
Dialek
Diamati dari segi dialek, bahasa Bali masyarakat Seraya tampak ada persamaan dengan dialek masyarakat desa-desa tua lainnya di Karangasem. Dialek asli masyarakat Seraya tampak ada persamaan dengan di Bugbug, Desa Pakraman Kedampal, serta Linggawana. Diduga zaman dulu ada hubungannya. Misalnya, ucapan ”e” seperti kija (ke mana), diucapkan dengan ”keja.”
Suarsa membenarkan dugaan hubungan erat itu. Sampai saat ini, katanya, masih erat hubungan kekeluargaan antara masyarakat Seraya dan Bugbug, misalnya terlihat saat saling hubungi (undang) saat ada salah satu pihak mengadakan upacara manusa yadnya ataupun pitra yadnya.
Suarsa mengatakan, Desa Pakraman Seraya juga diperkirakan merupakan salah satu desa tua di Karangasem. Berdasarkan hasil penelitian Pande Wayan Tusan — seorang peneliti gamelan sakral selonding — dari Karangasem, di Seraya ditemukan selonding yang terpanjang di Bali. Bilah terpanjang ditemukan mencapai satu meter, lebih pendek dari bilah selonding yang ditemukan di Besakih.

Gamelan Slonding Di Pura Puseh Desa Seraya, Karangasem

Timbulnya barungan gambelan Slonding di Pura Puseh Desa Seraya Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem yaitu sebelum tahun 1995 sangat dikeramatkan oleh Prajuru Desa Seraya, Krama ngarep atau Penua dan termasuk Krama Desa Seraya.
Karena Gamelan Selonding ini ditaruh di Pura Pasimpenan yang disebut Pura Slonding (disimpan memakai wadah kropakan/kotak kayu). Tiga bilah Gangsa yang kecil hanya dikeluarkan/dipundut (ditempatkan pada sebuah tapakan) pada saat Usaba Balai Sanghyang. Sedangkan tapakan-tapakan Idha Betara yang lainnya di pundut pada saat Usaba Bubuh, Purnama Kedasa, Usaba Kaja dan tiap Purnama Kapat.
Sedangkan bilah-bilah ini bisa  juga berfungsi sebagai Gamelan atau alat tabuhan untuk mengiringi upacara-upacara Di Pura Desa Seraya. Awal Upacara di Pura Puseh Desa Seraya yaitu pada tahun 1996 setelah I Made Putu Suarsha Menjabat sebagai Kelihan Desa Adat yang diangkat pada tahun 1995.
Beliau menjelaskan bahwa, berwal dari rasa penasaran beliau yang ingin mengetahui isi dari Pelinggih Pasimpenan. Setelah beliau memeriksa ternyata di dalam kropakan tersebut ada bilah-bilah gangsa yang terbuat dari besi, yang terpanjang sampai mencapai 120 cm. Dan juga ditemukan satu pasang Relief dengan rantai dan jejuluknya disertai dengan beberapa cagak serta beberapa penyeleng gangsa yang terbuat dari perunggu yang berbentuk Naga.
Berawal dari penemuan tersebut I Made Putu Suarsha langsung berkordinasi dengan Bapak Wayan Tusan dari Desa Bebandem  untuk mohon bantuan memfasilitasi dalam upaya membangun kembali (merakit agar kembali berfungsi). Pad akhirnya diperiksalah oleh beliau dan ternyata jumblah bilahnya masih dikatakan utuh oleh beliau, hanya saja pelawahnya harus di perbaharui/diganti dengan kayu nangka/ketewel yang berukuran sangat besar. Yang oleh beliau dikatakan sebagai Gamelan Selonding pada waktu itu.
Mengetahui demikian adanya fakta yang didapat ahirnya I Made Putu Suarsha selaku Kelihan Desa Adat Seraya langsung membuat banten atau sesaji dan ngaturang piuning/memohon Kepada Idha Sanghyang Widhi Wasa Tuhan yang berstana di Pura Puseh Desa Seraya agar gamelan tersebut diijinkan untuk diperbaiki dan diijinkan untuk ditabuh sebagai mana layaknya gamelan selonding yang ada di daerah lain.
Selain hal tersebut I Made Putu Suarsha melaporkan hal tersebut ke Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang pada akhirnya menanggapi dan langsung melakukan survei ke Pura Puseh Desa Seraya. Yang kemudian memberikan dana bantuan untuk merenopasi Gamelan Selonding tersebut. Yang ahirnya sampai saat ini Gamelan Selonding tersebut sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Namun Gamelan Selonding ini hanya bisa ditabuh dan dibunyikan di Areal Pura Puseh Desa Seraya dan pada saat hari raya-hari raya tertentu.