Rahina Mangkin

Jumat, 23 Desember 2011

Gebug Ende

Cukup menarik untuk ditelusuri asal-muasal munculnya permainan gebug ende itu. Klian Desa Pakraman Seraya I Made Putu Suarsa mengatakan, kemunculan permainan gebug ende itu diperkirakan merupakan bentuk pelestarian dari latihan perang-perangan prajurit Kerajaan Karangasem zaman dulu. Sampai kini, latihan bertarung itu masih dijadikan semacam peringatan, sehingga tetap lestari.
Pada zaman dulu, kata Suarsa, sebenarnya latihan perang prajurit kerajaan menggunakan senjata tajam, seperti pedang, tombak atau keris. Kini sebagai simbol senjata tajam itu dipergunakan tongkat rotan.
Pada zaman kerajaan, masyarakat Desa Seraya merupakan salah satu kanti (prajurit andalan) kerajaan. Prajurit inti dikenal berasal dari Seraya, yang berjumlah 40 (bala petangdasa). Selain masyarakat Seraya dijadikan salah satu kanti Kerajaan Karangasem, juga dari Bugbug dan Angantelu. ”Orang Desa Seraya dikenal karena kebal sajam, Bugbug karena ahli pengobatan, sementara Angantelu karena sifat pemberaninya. Barangkali, masyarakat di ketiga desa tua itu zaman dulu diberikan anugerah dengan kelebihan untuk mengemban tugas masing-masing,” ujar Suarsa.
Suarsa mengatakan, berdasarkan cerita secara turun-temurun yang diterimanya, tes pemilihan calon prajurit kerajaan itu digelar pada saat sangkepan (rapat) desa. Saat itu warga lelaki dewasa sejak dari rumah menuju tempat sangkep, masing-masing telah menjepit duri pandan di kedua ketiak. Begitu mendekati tempat sangkepan, petugas jaga bakal menarikan daun pandan dari ketiak calon peserta sangkepan. Kalau daun pandan lepas ditarik dan tubuh penjepit tak luka ditusuk duri, berarti mereka lolos seleksi dan bisa ikut sangkepan. Dari sangkep itulah dites lagi untuk memilih 40 prajurit inti kerajaan. ”Tempat melakukan tes kekebalan calon prajurit kerajaan dengan sebuah palinggih-nya, kini masih ada di Desa Seraya,” tutur Suarsa.
Saat sangkepan, katanya menceritakan cerita leluhurnya, krama membelah buah pinang untuk makan sirih (macanangan, bahasa Bali) dengan pedang, belakas atau tah, bukan di atas bantalan kayu (talenan). Namun, langsung di atas paha. ”Cetar…., pinang pun terbelah dengan salah satu senjata tajam itu. Tetapi paha tak luka,” ujar Suarsa memperagakan dengan tangannya.
Sajam yang digunakan untuk berperang pada zaman dulu pun, lanjutnya, mesti dites dulu. Kalau ditancapkan ke bebatuan tak tumpul atau kalau ditusukkan ke gedek — dulu dinding rumah cuma terbuat dari gedek berbahan potongan bambu — dan segala binatang yang ada tengah berada di dinding gedek, seperti tikus, cecak atau kalajengking gedek itu mati, barulah sajam itu lolos seleksi untuk dibawa berperang.
Dia mengatakan, sampai kini beberapa keturunan prajurit 40 masih ada yang memiliki warisan kebal sajam secara turun-temurun. Namun, katanya, kalau warga Seraya menginginkan bantuan agar dilindungi dari goresan sajam saat menghadapi bahaya, juga bisa dengan mengikuti tata cara tertentu, seperti yang diwariskan leluhur. ”Cukup dengan konsentrasi dengan doa guna mohon bantuan Batara yang kalinggihang dan dipuja di Seraya, doa bakal terkabul. Memang saat kami menghadapi ancaman, kami sepakat membangkitkan warisan leluhur itu, agar jangan sampai punah tertelan modernisasi,” katanya.
Dialek
Diamati dari segi dialek, bahasa Bali masyarakat Seraya tampak ada persamaan dengan dialek masyarakat desa-desa tua lainnya di Karangasem. Dialek asli masyarakat Seraya tampak ada persamaan dengan di Bugbug, Desa Pakraman Kedampal, serta Linggawana. Diduga zaman dulu ada hubungannya. Misalnya, ucapan ”e” seperti kija (ke mana), diucapkan dengan ”keja.”
Suarsa membenarkan dugaan hubungan erat itu. Sampai saat ini, katanya, masih erat hubungan kekeluargaan antara masyarakat Seraya dan Bugbug, misalnya terlihat saat saling hubungi (undang) saat ada salah satu pihak mengadakan upacara manusa yadnya ataupun pitra yadnya.
Suarsa mengatakan, Desa Pakraman Seraya juga diperkirakan merupakan salah satu desa tua di Karangasem. Berdasarkan hasil penelitian Pande Wayan Tusan — seorang peneliti gamelan sakral selonding — dari Karangasem, di Seraya ditemukan selonding yang terpanjang di Bali. Bilah terpanjang ditemukan mencapai satu meter, lebih pendek dari bilah selonding yang ditemukan di Besakih.

Gamelan Slonding Di Pura Puseh Desa Seraya, Karangasem

Timbulnya barungan gambelan Slonding di Pura Puseh Desa Seraya Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem yaitu sebelum tahun 1995 sangat dikeramatkan oleh Prajuru Desa Seraya, Krama ngarep atau Penua dan termasuk Krama Desa Seraya.
Karena Gamelan Selonding ini ditaruh di Pura Pasimpenan yang disebut Pura Slonding (disimpan memakai wadah kropakan/kotak kayu). Tiga bilah Gangsa yang kecil hanya dikeluarkan/dipundut (ditempatkan pada sebuah tapakan) pada saat Usaba Balai Sanghyang. Sedangkan tapakan-tapakan Idha Betara yang lainnya di pundut pada saat Usaba Bubuh, Purnama Kedasa, Usaba Kaja dan tiap Purnama Kapat.
Sedangkan bilah-bilah ini bisa  juga berfungsi sebagai Gamelan atau alat tabuhan untuk mengiringi upacara-upacara Di Pura Desa Seraya. Awal Upacara di Pura Puseh Desa Seraya yaitu pada tahun 1996 setelah I Made Putu Suarsha Menjabat sebagai Kelihan Desa Adat yang diangkat pada tahun 1995.
Beliau menjelaskan bahwa, berwal dari rasa penasaran beliau yang ingin mengetahui isi dari Pelinggih Pasimpenan. Setelah beliau memeriksa ternyata di dalam kropakan tersebut ada bilah-bilah gangsa yang terbuat dari besi, yang terpanjang sampai mencapai 120 cm. Dan juga ditemukan satu pasang Relief dengan rantai dan jejuluknya disertai dengan beberapa cagak serta beberapa penyeleng gangsa yang terbuat dari perunggu yang berbentuk Naga.
Berawal dari penemuan tersebut I Made Putu Suarsha langsung berkordinasi dengan Bapak Wayan Tusan dari Desa Bebandem  untuk mohon bantuan memfasilitasi dalam upaya membangun kembali (merakit agar kembali berfungsi). Pad akhirnya diperiksalah oleh beliau dan ternyata jumblah bilahnya masih dikatakan utuh oleh beliau, hanya saja pelawahnya harus di perbaharui/diganti dengan kayu nangka/ketewel yang berukuran sangat besar. Yang oleh beliau dikatakan sebagai Gamelan Selonding pada waktu itu.
Mengetahui demikian adanya fakta yang didapat ahirnya I Made Putu Suarsha selaku Kelihan Desa Adat Seraya langsung membuat banten atau sesaji dan ngaturang piuning/memohon Kepada Idha Sanghyang Widhi Wasa Tuhan yang berstana di Pura Puseh Desa Seraya agar gamelan tersebut diijinkan untuk diperbaiki dan diijinkan untuk ditabuh sebagai mana layaknya gamelan selonding yang ada di daerah lain.
Selain hal tersebut I Made Putu Suarsha melaporkan hal tersebut ke Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang pada akhirnya menanggapi dan langsung melakukan survei ke Pura Puseh Desa Seraya. Yang kemudian memberikan dana bantuan untuk merenopasi Gamelan Selonding tersebut. Yang ahirnya sampai saat ini Gamelan Selonding tersebut sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Namun Gamelan Selonding ini hanya bisa ditabuh dan dibunyikan di Areal Pura Puseh Desa Seraya dan pada saat hari raya-hari raya tertentu.